Wednesday 6 April 2011

cerpen buat temen gw (1)

Andien duduk tak bersemangat di atas ranjangnya. Sore itu hujan rintik-rintik. Udara dingin menyelinap ke dalam kamarnya yang sepi. Merasuk ke sekujur tubuhnya yang mungil. Namun ia tak peduli. Ia sedang malas menggerakkan badannya. Bahkan untuk memakai sweater sekalipun. Beberapa saat kemudian ia merebahkan badannya.

Keceriaan di wajah bocah yang berumur 10 tahun itu perlahan berkurang. Tergerus di sapu waktu dan kenyataan hidup. Itu di mulai semenjak ayahnya mengidap penyakit Gout. Penyakit yang menyebabkan sendi2 menjadi ngilu, bahkan kram.

Ayahnya tak sanggup berlama-lama berjalan menghabiskan waktu dengannya. Ibunya sudah tiada, meninggal saat melahirkan dirinya. Untuk anak yang masih kecil, sulit untuk menerima kenyataan yang seperti ini. Karna kebahagiaan mereka terletak pada kedekatannya dengan orang-orang yang di sayanginya. Andien merasa kedekatan itu semakin merenggang. Yang kemudian kerenggangan itu di isi oleh kesepian dan kesedihan. Berat.

Tak ada lagi jalan2 di taman, bermain sepeda keliling komplek, atau seseorang yang mengantarnya ke sekolah. Bocah itu mulai kehilangan momen kebersamaan dengan ayahnya. Meskipun masih kecil, tapi dia mampu merasakan kesedihan yang akhir-akhir ini berkelayut di pikirannya.

Pukul 5 sore, terdengar deru mesin mobil memasuki garasi. Ayahnya pulang kerja. Andien masih berdiam di kamar. Hanya mengintip sedikit dari jendela. Ah, kesedihan itu semakin kuat saat ia memandang ayahnya. Ayah, kapan kita bermain, berlari-larian di taman lagi?

Beberapa slide momen kebahagiaan lain bersama ayahnya tergambar di pikirannya. Saat mereka belarian di pinggir pantai, liburan bersama keluarga besar ayahnya. Saat menyusuri desa tempat neneknya tinggal, dimana waktu itu Andien ketakutan saat melihat kerbau yang sedang membajak sawah. Kenangan itu... Kebahagiaan itu...

Azan maghrib berkumandang. Andien tak bergeming. Kesedihan yang berlarut2 membuat raganya tak berselera untuk melakukan aktifitas apapun. Cuaca yang dingin juga seperti mamaksa dirinya untuk tetap bertahan di atas ranjang. Tiba-tiba terdengar suara ayahnya di depan pintu kamarnya.
"Ndin, Bangun! Udah maghrib tuh. Ntar setelah makan malam, jadi kan kita bikin peernya?"
Andien hanya menggeliat sambil mengeluarkan sedikit suara. Sekedar isyarat bagi ayahnya kalau dia telah bangun dari "tidur"nya.

Pikiran andien kembali menerawang. Biasanya maghrib seperti ini, ayahnya bersemangat memandikan putrinya yang cantik dan memakaikan mukenah warna pink kesukaannya. Kemudian berangkat ke mesjid dengan bergandengan tangan di barengi senyum di ujung bibir. Suatu kebiasaan yang sulit untuk di tinggalkan, apalagi di lupakan.
Andien masih teringat saat terakhir dia berangkat menuju mesjid di sekitar komplek rumahnya. Baru sekitar 10 meter dari rumahnya, tiba2 ayahnya setengah berteriak mengaduh. Terlihat ayah memegang dengkulnya.
"ada apa, yah?" andien panik.
"kaki ayah. Ngilu sekali rasanya." ayahnya meringis menahan sakit.

Badan ayahnya mendadak panas. Andien bingung dan sedih. Kemudian tiba2 pak Haji lewat dan segera membantu Andien membawa ayahnya kembali ke rumah. Andien tak tau harus berbuat apa. Dia hanya berharap ayahnya baik2 saja. Bocah itu perlahan menyapu bulir air di pinggir matanya.

Di ruang tamu rumahnya, ayahnya masih meringis. Andien duduk di samping ayahnya sambil memegang erat tangan ayahnya, seolah ayahnya akan meninggalkannya. Pak haji itu juga kebetulan seorang dokter yang kemudian memberi penjelasan kepada ayahnya.
"Bapak terkena penyakit gout. Yang di sebabkan oleh penumpukan kristal asam urat dari sisa metabolisme makanan yang banyak mengandung purin. Menyebabkan kram, pegal2, bahkan bisa lumpuh. Sebaiknya bapak segera memerikasakan penyakit bapak ke rumah sakit." Pak haji menjelaskan panjang lebar.

Andien tak mengerti sama sekali. Dia juga tak mau tau. Yang dia inginkan hanya kesembuhan ayahnya dan pergi ke mesjid bersama lagi. Namun butuh waktu lama. Semenjak kejadian itu, sekitar 5 bulan yang lalu, Andien tak pernah lagi berangkat ke mesjid bersama ayahnya. Perlahan-lahan momen bahagia itu lenyap.

Andien membuka pintu kamar. Terlihat ayahnya sedang menyiapkan makan malam. Andien langsung menuju kamar mandi untuk menyegarkan badan dan pikiran kotornya yang terus mempengaruhi keadaannya.
"nanti habis mandi dan sholat maghrib, kita makan malam bareng ya. Setelah itu baru bikin peernya kamu, ok sayang?" ujar ayahnya sambil mencicipi gulai babat buatannya sendiri.
"iya, ayah" Andien menjawab sekenanya.

Ayahnya sangat pintar memasak. Jadi walaupun ibunya tiada, segala permasalahan di dapur tak begitu jadi persoalan. Masakan favorit ayahnya adalah daging-dagingan. Babat, hati, saredn, dan berbagai macam daging kaleng.

Setelah makan malam, Andien segera membawa buku dan peralatan belajar lainnya ke ruangan tengah. Menyelesaikan peer bersama ayahnya. Dia tak terlalu semangat. Tapi dia tak punya pilihan lain. Ini hanya beberapa hal yang bisa di lakukannya bersama ayahnya. Kebersamaan yang di inginkannya, meskipun itu tak sesuai kehendaknya. Maafkan andien, ayah...

Pukul setengah sembilan, Andien menutup buku pelajarannya.
"Yah, andien tidur dulu ya.."
"iya, sayang.. jangan lupa cuci kaki dan berdoa sebelum tidur".

Lampu di rumah itu satu-persatu padam. Menandakan saatnya untuk beristirahat, meninggalkan sejenak beban fikiran. Malam itu tak terlalu ceria. Tak ada bunyi jangkrik ataupun binatang malam lainnya. Andien bersiap tidur, memasuki alam mimpinya.

No comments:

Post a Comment