Di pagi yang cerah, seorang gadis berbaju kuning tengah duduk di sebuah bangku tua di pinggir kolam.
Disana
adalah kawasan bekas taman kanak-kanak yang sudah tutup sejak tiga tahun yang
lalu. Lumut tipis terlihat menyelimuti dinding tepi kolam. Begitu juga dengan
ayunan yang berada tepat di dekat pintu masuk. Talinya hanya tinggal sebelah.
Dan sebagian besar halamannya di tutupi oleh rumput liar.
Gadis
itu sendirian menikmati suasana. Sesekali sibuk menyibak rambut yang menutupi
sebagian wajahnya. Ia menyandarkan punggungnya di bangku tersebut. Tepat di
samping kirinya terdapat sebuah payung berwarna abu-abu dan sebuah tas kecil
miliknya.
Tak
banyak orang berlalu lalang di sekitar sana. Di jalanan pun hanya ada satu dua
kendaraan yang lewat. Untunglah gesekan daun yang di terpa hembusan angin
menyulap suasana sepi itu terasa cukup menyejukkan.
Beberapa
saat kemudian datang seorang lelaki. Memakai jaket biru muda dan ber-jins
dengan warna serupa. Dia bersama seorang anak kecil, berpakaian sekolah putih
merah, dia membawa sebuah gitar. Mereka mendatangi gadis tersebut.
Mereka
berbincang sedikit. Dan terlihat sang gadis itu mengangguk. Lalu tersenyum
sambil mempersilahkan duduk.
Anak
kecil itu berbisik dan kemudian meninggalkan mereka berdua. Langkah anak kecil
itu tampak buru-buru. Sepertinya ia terlambat ke sekolah.
Tinggallah
dua sejoli itu disana. Mereka saling menghadapkan wajahnya ke depan. Tepatnya
ke kolam.
Butuh
waktu untuk memulai pembicaraan.
Angin
sepoi-sepoi mengagetkan daun kering yang bergantung lemah di ranting hingga
berguguran. Sehelai daun menyangkut di belakang rambut sang gadis. Namun ia tak
menyadarinya.
“Ehm..
maaf, apakah aku membuatmu menunggu terlalu lama?” Si lelaki mencoba membuka
suara.
“Tidak
juga. Tapi suasana disini sangat tenang. Aku menyukainya.”
“Mmm..
sekali lagi maaf. Lain kali aku akan mencoba tepat waktu.”
“Tak
apa. Eh tadi yang bersamamu siapa?”
“Dia
adikku. Katanya dia pernah sekolah di taman kanak-kanak ini. Sayang sekali
sekolah ini di tutup.”
“Iya,
sayang sekali. Kau tau, dulu ibuku adalah salah satu guru disini.” Sang gadis
terdiam sejenak.
Langit
sangat bersih pagi itu. Awan bersembunyi entah dimana.
*****
”Aku
tak sabar ingin mendengar suaramu secara langsung.” Ujar sang gadis.
“Dan
aku juga tak sabar ingin menepati janjiku.” Lelaki itu tersenyum. Lalu
mengambil gitar yang sedari tadi berada di pangkuannya.
“Kau
mau lagu apa?”
“Aku
ingin lagu yang sering kau bawa saat berkaraoke di radio. In to tou – Adithya
Sofyan. Apakah itu lagu kesukaanmu?”
“Iya.
Itu lagu favoritku.” Jari-jarinya segera menyentuh senar dengan lembut. Suara
melodi indah mulai terdengar.
Early
in the morning I was still in bed
You
call me just in time when the sunlight comes
You
said "How was your sleep? I didn't do too well. Would you be a friend and
take a walk with me?"
My
friends they all been telling me that you're no good
You
broke a lot of hearts and you don't even know
I
refuse to believe any of that is true
But
I'll hate it when they're right and tell me told you so
I
don't want to be a victim of a broken heart
I
don't want to put myself into another mess yeah
I
don't want to be a fool and make a big mistake
I've
should've known better, but it's allright
Cause
I'm in to you
Early
in the morning I was still in bed
We've
talked about an hour till my ear turns red
You
said "It's getting late, I'm gonna have to go. I'll be getting ready so
how 'bout that walk?"
My
friends been telling me that I should let you go
You
broke a lot of hearts and then you run away
I
refuse to believe any of that it's true
But
I'll hate it when they're right and tell me told you so
I
don't want to be a victim of a broken heart
I
don't want to put myself into another mess no
I
don't want to be a fool and make a big mistake
I've
should've known better, but it's alright
Cause
I'm in to you
Early
in the morning I was still in bed
The
thought of you remains the biggest mystery
I
was left unsure of all this thing would go
I guess
I'll think about it when I walk with you
*******
Angin
bertiup perlahan membuat ranting-ranting pohon di sekitar mereka bergoyang
lembut. Riak-riak kecil terukir di kolam yang tenang.
Sang
gadis sangat menikmati. Ia kemudian melepaskan kacamata hitamnya. Lalu meraba
mencari keberadaan tasnya. Ia memegang sebuah gelang.
“Bagus
sekali. Aku sering bermimpi mendengar suaramu.”
“Terima
kasih. Tapi suaraku biasa saja.” Si lelaki tersipu.
Sesaat
tangan sang gadis dengan teliti menelusuri gitar hingga menyentuh tangan si
lelaki.
“Ini
untukmu.”
Si
lelaki itu terkejut.
“Pasti
gelang yang indah. Terima kasih. Kau gadis yang baik.” Ia menyentuh gelang
tersebut dengan lembut.
“Seandainya
aku bisa melihat sosok dirimu yang mempunyai suara indah.” Ujar sang gadis
lirih. Lalu menarik nafas dalam.
“Aku
juga berharap bisa menatap kehadiran gadis baik sepertimu di sampingku”. Si
lelaki juga ikut melepas kacamata hitamnya.
Mereka
terdiam. Deru angin menyeruak. Membuat rambut sang gadis melambai-lambai.
Seperti menari bersama angin.
Waktu
berjalan begitu cepat. Sungguh tak terasa.
Kemudian
terdengar bunyi deru mobil berhenti tak jauh dari tempat mereka. Seorang bapak
tua keluar dari dalamnya.
“Sepertinya
itu ayahku. Aku harus pulang sekarang.” Ujar sang gadis.
“Baiklah.
Cuaca semakin panas. Matahari sangat terik. Aku harap kita bisa kembali
bertemu.”
Terdengar
langkah kaki mendekat ke arah mereka. Suaranya semakin jelas. Lalu berhenti.
“Natasya,
bisa kita pulang sekarang?” Bapak itu membuka suara.
“Baik,
ayah.” Sang gadis sudah bersiap. Ia menyampingkan tasnya di bahu. Lalu berdiri.
Kacamata hitamnya kembali dipakai. Bapak itu meraih tangan sang gadis. Bersiap
menuntunnya ke mobil.
Bapak
itu berhenti sejenak. “Apakah kau yang bernama Dretarastra?”
“Iya,
pak.”
“Namamu
kedengaran cukup aneh.”
“Itu
adalah nama salah satu tokoh pewayangan. Ia buta. Sama sepertiku. Orangtuaku
bilang begitu.”
“Ngomong-ngomong,
Natasha banyak bercerita tentang suaramu. Ia sering memimpikannya.”
Si
lelaki tersenyum malu. “Natasha gadis yang baik. Bolehkah aku bertemu lagi
dengannya?”
“Kapan
pun itu, nak. Bapak senang Nastasha punya teman baik sepertimu. Oh ya, kami
harus pulang sekarang. Bagaimana denganmu? Mau ikut dengan kami?”
“Terima
kasih, pak. Tapi aku sudah berpesan kepada adikku untuk menunggunya disini.
Selepas pulang sekolah dia akan mengantarku pulang.”
“Baiklah,
nak. Sampai jumpa.”
“Sampai
jumpa.”
Suara
langkah kaki sang gadis dan bapaknya terdengar semakin kecil. Kemudian berganti
dengan erangan deru mobil. Lalu perlahan menjauh. Menghilang.
Si
lelaki tertunduk sambil mengelus gelang yang di beri oleh sang gadis.
Angin
tak bertiup beberapa saat. Semuanya tak bersuara. Hanya matahari yang terjaga.
Si
lelaki itu hanya bisa menatap dunianya. Sendiri.
*****